JURNAL
MORALITAS KORUPTOR
ABSTRAK
Dewi
Kurniawaty, 11211957
MORALITAS KORUPTOR
Jurnal,
Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Gunadarma, 2014
Kata
kunci : Moralitas, Korupsi
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengertian
moralitas dan korupsi. Latar belakang dari penulisan ini adalah kian maraknya
korupsi di Indonesia dan dampaknya terhadap negara. Salah satu contohnya adalah
korupsi yang melibatkan kepala daerah yaitu Gubernur Banten Ratu Atut Choisiah.
Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data
sekunder yaitu data yang didapat dari buku-buku dan internet. Dalam penulisan
ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak terjadi tindak pidana korupsi yang
melibatkan para kepala daerah yang seharusnya menjadi panutan bagi daerahnya. Pendidikan
dan kepercayaan masyarakat yang tinggi tidak menjamin seorang manusia tidak melakukan
korupsi.
Berdasarkan hasil penulisan maka didapatkan hasil
bahwa korupsi telah menghilangkan moralitas seseorang. Untuk mencari keuntungan
pribadi maka para koruptor mengesampingkan nilai-nilai moral yang seharusnya
dijunjung tinggi sebagai manusia juga sebagai pengemban amanat rakyat.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia
dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya,
Negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah
merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Salah
satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas
tersebut bukan hanya dari segipengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat
kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.
Korupsi telah mengakibatkan kerugian materiil keuangan
negara yang sangat besar. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah
terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara
kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang
pesangon dan lainsebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan
pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah tanah air.
Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga
yang menonjol adalah sikap kerakusan dan
aji mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban
lain kalau kita ingin maju,adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak
berhasil memberantas korupsi,atau paling tidak mengurangi sampai pada titik
nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa
negara ke jurang kehancuran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pentingnya moralitas bagi setiap warga Negara
2. Penyebab terjadinya korupsi
1.3 Batasan Masalah
Dalam penyusunan penulisan ini, penulis membatasi menjadi
beberapa sub pokok bahasan meliputi :
1. Pengertian moral dan moralitas
2. Pengertian korupsi
3. Jenis korupsi
4. Penyebab korupsi
5. Dampak korupsi
6. Pemberantasan korupsi
1.4 Maksud dan Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Etika Bisnis dalam membuat jurnal atau tulisan mengenai Moralitas
Koruptor. Maksud dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian korupsi
2. Untuk mengetahui pengertian moral dan moralitas
3. Untuk mengetahui jenis-jenis korupsi
4. Untuk mengetahui penyebab terjadinya korupsi
5. Untuk mengetahui dampak adanya korupsi
6. Untuk mengetahui cara pemberantasan korupsi
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Korupsi
Pengertian Korupsi Menurut Undang-Undang
Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi
adalah:
Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum,
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Pengertian Korupsi Menurut Ilmu Politik
Dalam ilmu politik, korupsi didefinisikan sebagai
penyalahgunaan jabatan dan administrasi, ekonomi atau politik, baik yang
disebabkan oleh diri sendiri maupun orang lain, yang ditujukan untuk memperoleh
keuntungan pribadi, sehingga meninmbulkan kerugian bagi masyarakat umum,
perusahaan, atau pribadi lainnya.
Pengertian Korupsi Menurut Ahli Ekonomi
Para ahli ekonomi menggunakan definisi yang lebih
konkret. Korupsi didefinisikan sebagai pertukaran yang menguntungkan (antara
prestasi dan kontraprestasi, imbalan materi atau nonmateri), yang terjadi
secara diam-diam dan sukarela, yang melanggar norma-norma yang berlaku, dan
setidaknya merupakan penyalahgunaan jabatan atau wewenang yang dimiliki salah
satu pihak yang terlibat dalam bidang umum dan swasta.
Pengertian Korupsi Menurut Haryatmoko
Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan
kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi,
keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.
Pengertian Korupsi Menurut Brooks
Menurut Brooks, korupsi adalah dengan sengaja
melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban,
atau tanpa keuntungan yang sedikit banyak bersifat pribadi.
2.2 Pengertian Moral dan Moralitas
1. Moral
Secara umum, moral dapat diartikan sebagai batasan
pikiran, prinsip, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia tentang nilai-nilai
baik dan buruk atau benar dan salah. Moral merupakan suatu tata nilai yang
mengajak seorang manusia untuk berperilaku positif dan tidak merugikan orang
lain. Seseorang dikatakan telah bermoral jika ucapan, prinsip, dan perilaku
dirinya dinilai baik dan benar oleh standar-standar nilai yang berlaku di
lingkungan masyarakatnya.
2. Moralitas
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas
mencakup tentang baik-buruknya perbuatan manusia. (W.Poespoprojo, 1998: 18)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa
moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan dengan etiket
atau adat sopan santun.
2.3 Jenis Korupsi
Jenis korupsi menurut Guy Benveniste yang terdapat
dalam Pasal 2-Pasal 12 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 adalah:
1. Discretionary Corruption adalah korupsi yang
dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan.
2. Illegal Corruption adalah tindakan yang dimaksud
untuk mengacaukan bahasa atau maksud hukum.
3. Mercenary Corruption adalah tindakan korupsi untuk
kepentingan pribadi.
4. Ideological Corruption adalah korupsi untuk
mengejar tujuan kelompok.
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
3.1
Objek Penelitian
Objek
penulisan ini adalah kasus korupsi Gubernur Banten Ratu
Atut Choisiah
3.2
Data yang digunakan
Data
yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh penulis secara
tidak langsung (melalui media perantara).
3.3
Metode pengumpulan data
Metode
pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan yaitu mengadakan penelaahan
terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporan-laporan
yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan serta menggunakan metode
searching di internet, yaitu dengan membaca referensi-referensi berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalam tugas ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Sejarah terjadinya korupsi
Era Sebelum Indonesia Merdeka
Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh
“budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan,
kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin
berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh
keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan
Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng
Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya
beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi
dan Kekuasaan diIndonesia.
Era Pasca Kemerdekaan
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat
sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi –
namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran,
singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan
Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu
oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Era Orde Baru
Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR
tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang
tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik
berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama
kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.
Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi”
lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan, maka pada Era Reformasi
hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi”
yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya
sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan
dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD
1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama
rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan
secara murni, kecuali secara “konkesuen” alias “kelamaan”.
4.2 Faktor Penyebab terjadinya korupsi
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi, yaitu :
1. Penegakan hukum tidak
konsisten, penegakan hukum hanya sebagai make up politik, sifatnya sementara,
selalu berubah setiap berganti pemerintahan.
2. Penyalahgunaan
kekuasaan/wewenanng, takut dianggap bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan
yang antikorup, sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas
formalitas.
4. Rendahnya
pendapatan penyelenggara Negara. Pendapatan yang diperoleh harus
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara Negara, mampu mendorong penyelenggara
Negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
5. Kemiskinan,
keserakahan, masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena
serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan
keuntungan.
6. Budaya memberi upeti,
imbalan jasa dan hadiah.
7. Konsekuensi bila
ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi, saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan
hukumannya.
8. Budaya permisif/serba
membolehkan, tidak mau tahu, menganggap biasa bila sering terjadi. Tidak
peduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan
agama dan etika. Pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal
menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku
masyarakat yang memeluk agama itu sendiri.
4.3 Dampak Korupsi
Dampak Finansial
1. Pengeluaran tidak penting dengan biaya
mahal untuk pembelanjaan, investasi, jasa, atau pendapatan negara menjadi
rendah karena tidak diperlukannya surat ijin, perijinan, konsensi dan
sebagainya;
2. Sub perincian kualitas penyediaan atau
pekerjaan tidak sesuai dengan harga yang dibayar;
3. Pembebanan kewajiban keuangan kepada
pemerintah atas pembelanjaan atau penanaman modal yang tidak diperlukan atau
tidak bermanfaat yang secara ekonomi biasanya bernilai sangat besar; dan
4. Pembebanan atas biaya perbaikan awal
kepada pemerintah yang kerap diikuti dengan berbagai alasan biaya perawatan.
Dampak Ekonomi
Dampak
ekonomi dapat terdiri atas beban kepada pemerintah untuk biaya pelaksanaan,
perawatan dan peminjaman hutang untuk investasi atau pembelanjaan, yang tidak
digunakan secara benar demi kepentingan ekonomi negara.
Dampak Lingkungan
Korupsi
dalam pengadaan barang dan jasa dapat mengakibatkan dampak buruk bagi
lingkungan. Karena proyek-proyek yang dikerjakan biasanya tidak mengikuti
standarisasi lingkungan negara tersebut (atau internasional).
Dampak pada Kesehatan dan Keselamatan Manusia
Resiko
kerusakan dapat terjadi pada kesehatan dan keselamatan manusia berbagai akibat
kualitas lingkungan yang buruk, penanaman modal yang anti-lingkungan atau
ketidakmampuan memenuhi standarisasi kesehatan dan lingkungan.
Dampak pada Inovasi
Korupsi
membuat kurangnya kompetisi yang akhirnya mengarah kepada kurangnya daya
inovasi. Perusahaan-perusahaan yang bergantung pada hasil korupsi tak akan
menggunakan sumber dayanya untuk melakukan inovasi.
Erosi Budaya
Ketika
orang menyadari bahwa tidak jujurnya pejabat publik dan pelaku bisnis, serta
lemahnya penegakan hukum bagi pelaku-pelaku korupsi, akan menyebabkan
masyarakat meninggalkan budaya kejujuran dengan sendirinya dan membentuk kepribadian
masyarakat yang tamak.
Menurunnya Tingkat Kepercayaan Kepada Pemerintah
Ketika
orang menyadari bahwa pelaku korupsi dilingkungan pemerintahan tidak dijatuhi
hukuman, mereka akan menilai bahwa pemerintah tak dapat dipercaya.
Kerugian Bagi Perusahaan yang Jujur
Jika
peserta tender yang melakukan korupsi tidak mendapat hukuman, hal ini akan
menyebabkan peserta yang jujur akan mengalami kerugian karena kehilangan
kesempatan melakukan bisnisnya.
Ancaman Serius Bagi Perkembangan Ekonomi
Jika
pemerintah mentolelir korupsi dalam belanja barang dan jasa serta investasi,
dan dasar pemilihan investasi yang tidak dilandasi pada perkembangan
perekonomian – tetapi lebih karena suap- maka cepat atau lambat negara tidak
mampu membiayai investasinya sendiri. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan
kebijakan mengundang investor asing dengan iming-iming berbagai fasilitas
kemudahan. Kebijakan ini tentu akan melumpuhkan perkembangan ekonomi domestik
dan masyarakat miskin akan menjadi korban.
4.4 Contoh kasus korupsi di Indonesia
Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan surat
perintah penyidikan baru untuk Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Setelah
menjadi tersangka kasus korupsi penanganan sengketa pemilihan kepala daerah
Lebak, Banten, dan pengadaan alat kesehatan di Banten, Atut kini dijadikan
tersangka gratifikasi.
“Di antaranya dari proyek alat kesehatan di Banten,”
kata juru bicara KPK, Johan Budi, Selasa, 14 Januari 2014. Dalam konferensi
pers pada Senin lalu, ia menyebutkan penyidik telah menemukan dua bukti
permulaan yang cukup.
Berikut penjelasan singkat ketiga kasus yang menjerat
Atut itu:
1. Kasus sengketa Pemilukada Lebak, Banten, yang
ditangani Mahkamah Konstitusi
Peran: Atut bersama adiknya, Tubagus Chaeri Wardana
alias Wawan, diduga memberikan suap sebesar Rp 1 miliar kepada Akil Mochtar
(kala itu Ketua MK) melalui seorang advokat Susi Tur Andayani, yang juga telah
menjadi tersangka kasus yang sama.
Pasal yang menjerat: Pasal 6 ayat 1 huruf a
Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidan.
Dengan ancaman hukuman pidana penjara 3-15 tahun, denda Rp 150-Rp 750 juta.
2. Korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat
kesehatan Provinsi Banten 2011-2013
Peran: Wakil Ketua KPK, Zulkarnain, mengatakan Atut
bertanggung jawab sebagai pengguna anggaran. Wawan juga menjadi tersangka dalam
kasus ini. Baca juga: Airin Siap Jika Harta Suaminya Disita.
Pasal yang menjerat: Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1
KUHPidana. Ancaman Pasal 2 adalah pidana penjara 4-20 tahun, dan denda Rp 200
juta-Rp 1 miliar. Sedangkan Pasal 3 pidana penjara selama 1-20 tahun, dan denda
Rp 50 juta-Rp 1 miliar.
3. Penerimaan gratifikasi atau pemerasan
Peran: Belum dijelaskan. Namun, juru bicara KPK Johan
Budi S.P. saat jumpa pers mengatakan penetapan ini merupakan hasil pengembangan
penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten
pada 2011-2013.
Pasal yang dijeratkan: Pasal 12 huruf e atau Pasal 12
huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman
Pasal 12 adalah 4-20 tahun penjara, dan Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Sedangkan
Pasal 5 dan Pasal 11 adalah pidana penjara selama 1-5 tahun, dan denda Rp 50-Rp
250 juta.
4.5 Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi
1. Peningkatan kesejahteraan aparat penegak hokum
2. Penghukuman yang efektif dan berefek jera
3. Insenfif/bonus dan promosi kenaikan pangkat bagi
aparat penegak hukum / lembaga yang berhasil menangkap atau menghukum koruptor
4. Insentif dan perlindungan hukum penuh bagi PNS yang
memberikan informasi adanya korupsi di departemennya
5. Menjadikan Hukum Sebagai Panglima Serta
Mengefektifkan Sumber-Sumber Penerimaan Negara
6. Sita Massal Terhadap Aset Koruptor untuk
Pengembalian Keuangan negara Yang Dikorupsi
7. Memaksimalkan peran serta public
8. Perbaikan dan Transparansi dalam Penerimaan PNS
9. Pemaksimalan Pembuktian Terbalik Dan Perlindungan
Saksi
10. Mengoptimalkan Fungsi Aparat Penegak Hukum dan
instansi terkait seperti PPATK dan LPSK
11. Menjalin Kerjasama Dengan Dunia Internasional
12. Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang) Antikorupsi oleh Presiden
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
1. Korupsi di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh
orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki jabatan penting dalam pemerintahan
2. Adanya lembaga pemberantasan korupsi belum membuat
para koruptor jera
3. Para koruptor sudah kehilangan moralitasnya sebagai
manusia dan warga negara
5.2 Saran
Korupsi merupakan kejahatan kerah putih dan luar biasa
yang penanganannya juga harus dilakukan dengan cara luar biasa dan tidak dapat
hanya ditangani oleh suatu lembaga sendiri, walaupun superbody, tanpa ada
kordinasi dan dukungan dari rakyat Indonesia. Selama pemberantasan korupsi
dilakukan dengan cara-cara biasa apalagi tanpa kordinasi yang jelas antar
aparat penegak hukum dan lembaga terkait serta tidak sistematis maka suatu
kemustahilan tindak pidana korupsi akan berkurang dan koruptor akan jera
melakukan tindakan yang koruptif yang merugikan keuangan negara.
Sebagai warga bangsa, manusia Indonesia seharusnya
sadar bahwa korupsi adalah masalah bersama yang membawa negara ini kepada
keburukan dan keterpurukan. Sudah saatnya dibuat hukum yang tegas untuk
mengembalikan bangsa ini kepada jalurnya yang benar, dan tak ketinggalan pula:
pendidikan hati nurani demi tajamnya mentalitas bernegara. Pendidikan hati
nurani dalam hal ini tidak bisa disempitkan melulu kepada beribadah dan kembali
kepada agama saja (karena semua orang Indonesia ternyata beragama, dan pada
saat itu juga menjadi negara terkorup pula!). Pendidikan hati nurani sebenarnya
adalah persoalan pengembalian manusia kepada kodratnya yang mengedepankan peran
akal budi. Akal budi inilah yang memampukan setiap manusia untuk mengarahkan
diri kepada pencapaian kebaikan. Korupsi adalah pembalikan dari kebaikan, maka
dengan tegas harus ditolak! Korupsi juga adalah pengingkaran kodrat manusia
yang bermartabat, maka dengan tegas pula harus diberantas
DAFTAR PUSTAKA
Irham, Ma’ruf. 2014. Pengertian Korupsi. Dalam :
Nooryadi,Dany. 2011. Definisi Moral dan Moralitas. Dalam :
psychologymania.
Tanpa tahun. Jenis-jenis
Korupsi. Dalam :
Tempo. 2014. Ratu Atut
Tersangka 3 Kasus Korupsi. Dalam :
abu
azka. 2011. Upaya Taktis dan Strategi
Pemberantasan Korupsi. Dalam :